Kabupaten Pasuruan merupakan kawasan kota kuno yang mempunyai banyak peninggalan benda-benda purbakala dan sejarah. Dalam literatur-literatur kuno ditemukan berbagai informasi yang menunjukkan kebesaran kota Pasuruan yang sungguh-sungguh gemilang. Secara analitis teoritis, keagungan dan keanggunan jati diri budaya Kabupaten Pasuruan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Jati Diri Historis
Yaitu kemampuan masyarakat Pasuruan dalam melintasi aspek kesejarahannya. Pentas sejarah masyarakat Pasuruan senantiasa diwarnai dengan semangat patriotisme, nasionalisme dan heroisme, keprajuritan, kebangsaan, dan kepahlawanan.
2. Jati Diri Epigrafis
Yaitu kemampuan masyarakat Pasuruan dalam hal tulis-menulis. Berabad-abad lamanya masyarakat Pasuruan mempunyai ketrampilan membaca dan menulis. Beberapa petilasan kuno ditemukan di sekitar wilayah Pasuruan.
3. Jati Diri Kosmopolis
Yaitu kemampuan masyarakat Pasuruan dalam mengelola kota-kota yang menjadi pusat interaksi sosial masyarakat dunia. Sejak dulu kala kota Pasuruan merupakan kawasan bisnis internasional. Para pengusaha dari berbagai bangsa berkumpul untuk melakukan aktivitas bisnis. Kota Pasuruan ramai, meriah, dan ramah berhubung suasana yang kondusif. Keamanan terjamin dan adanya kepastian tata tertib berdagang membuat para eksportir dan importir mau berinvestasi di kawasan Pasuruan. Roda perekonomian yang lancar ini membuat masyarakat Pasuruan makmur, maju dan dinamis.
4. Jati Diri Antropologis
Yaitu kemampuan masyarakat Pasuruan dalam menjalankan dinamika kebudayaan. Kebudayaan Pasuruan yang sudah terbiasa berkomunikasi dengan bangsa Asia Selatan, Asia Tengah, dan Asia Barat, membuat akulturasi budaya yang mengakomodir tradisi agama, ilmu dan adat.
5. Jati Diri Sosiologis
Yaitu kemampuan masyarakat Pasuruan dalam menyesuaikan perkembangan modernitas, sebuah adaptasi yang telah menghasilkan sintesa ekonomi antara budaya tradisional dan modern. Pasuruan merupakan kawasan kerajinan besar dan strategis. Kerajinan-kerajinan ini telah mengembangkan peradaban bangsa, terutama dalam distribusi skill dan finansial. Tidak terlalu berlebihan jika Pasuruan ini nanti menjadi kiblat lainnya dalam hal pengembangan kerajinan. Oleh karena itu apresiasi terhadap Pasuruan perlu dipublikasikan secara luas.
6. Jati Diri Teknokratis
Yaitu kemampuan masyarakat Pasuruan dalam merancang, merumuskan dan melaksanakan program-program kolektifnya. Salah satu keunggulan bangsa Indonesia adalah kemampuannya dalam hal mengelola negara dan pemerintahan. Ketrampilan berorganisasi bangsa Indonesia terbukti dengan adanya berbagai macam kerajaan beserta peninggalan-peninggalannya. Manajemen kenegaraan dan pemerintahan hanya bisa dilakukan oleh sebuah bangsa yang telah mempunyai peradaban tinggi. Pasang surut kerajaan-kerajaan itu diwarnai dengan peristiwa politik seperti suksesi, negosiasi, dan diplomasi. Struktur kekuasaan dikelola dengan prinsip-prinsip kesepakatan antar elit istana dengan berdasarkan nilai-nilai yang masih diyakini masyarakat umum. Kesepakatan politik itu dituangkan dalam bentuk konstitusi yang belaku dan mengikat bagi segenap warga kerajaan.
B. Sejarah Kabupaten Pasuruan
Secara kronologis sampai sekarang para bupati yang pernah memimpin Kabupaten Pasuruan sudah berjumlah 35 orang, yakni :
1. Bupati Darmoyoedo I atau Aryo Loemantoeng (1613-1645).
Beliau mendapat gelar kehormatan Kyai Pengantenan yang merupakan wayah Kyai Ageng Gribig Malang. Beliau dimakamkan di Pasuruan.
2. Bupati Darmoyoedo II (1645-1657).
Perjuangan Darmoyoedo I dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Darmoyoedo II. Setelah wafat dimakamkan di desa Porodeso Pasuruan, tepat di belakang Kantor Pemerintah Kabupaten.
3. Bupati Darmoyoedo III (1658-1671).
Kadipaten Pasuruan selanjutnya dipimpin oleh cucu Darmoyoedo I yang bergelar Darmoyoedo III. Kini makamnya di daerah Sentono Panji Kediri.
4. Bupati Onggojoyo (1671-1686).
Selanjutnya Pasuruan dipimpin oleh Bupati Onggojoyo yang masih keturunan Kyai Brondong. Makamnya berada di Boto Putih Surabaya.
5. Bupati Wironegoro atau Oentoeng Soerapati (1686-1706).
Oentoeng Soerapati gigih melawan penjajahan Belanda. Dia diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Makamnya di Mancilan Pasuruan.
6. Bupati Rahmat (1707-1708).
Putra Oentoeng Soerapati yang bernama Rahmat meneruskan perjuangan ayahandanya. Dalam pertempuran dengan VOC, beliau gugur di Medan Laga pada tahun 1708.
7. Bupati Darmoyoedo IV atau Wongsonegoro (1708-1743).
Kepemimpinan Pasuruan kemudian dipegang oleh Darmoyoedo IV. Beliau menggantikan Bupati Rahmat.
8. Bupati Aryo Nitiadiningrat I atau Raden Garoedo (1757-1799).
Kadipaten Pasuruan seterusnya dibawah kepemimpinan Aryo Nitiadiningrat I. Beliau adalah putra Sinuwun Paku Buwono IV dari kerajaan Mataram yang beribukota di Kartasura.
9. Bupati Aryo Nitiadiningrat II (1800-1809).
Putra Aryo Nitiadiningrat I selanjutnya meneruskan kepemimpinan ayahandanya dengan gelar Aryo Nitiadiningrat II.
10. Bupati Aryo Nitiadiningrat III (1809-1833)
Putra Aryo Nitiadiningrat II selanjutnya meneruskan kepemimpinan ayahandanya dengan gelar Aryo Nitiadiningrat III.
11. Bupati Aryo Nitiadiningrat IV (1833- 1887)
Putra Aryo Nitiadiningrat III selanjutnya meneruskan kepemimpinan ayahandanya dengan gelar Aryo Nitiadiningrat IV.
12. Bupati RMAA Soegondo (1887-1901)
Darah biru dari trah Mataram yang bernama RMAA Soegondo melanjutkan kepemimpinan Pasuruan. Beliau adalah putra KGPAA Mangkunegoro IV.
13. Bupati RMAA Darko Soegondo I (1901 - 1916)
RMAA Soegondo digantikan oleh putranya yang bernama RMAA Darko Soegondo I.
14. Bupati RMAA Soeyono (1916-1929)
RMAA Darko Soegondo I digantikan oleh menantunya yang bernama RMAA Soeyono.
15. Bupati RMT Darko Soegondo II (1929 - 1931).
RMAA Soeyono digantikan oleh iparnyanya yang bernama RMAA Darko Soegondo II.
16. Bupati RT Bowodiman (1931 - 1933)
Raden Tumenggung Bowodiman memimpin Pasuruan dengan penuh kebijaksanaan sesuai dengan norma agama dan budaya hingga tahun 1933.
17. Bupati RAA Harsono (1933 - 1936)
Kabupaten Pasuruan kemudian dipimpin oleh RAA Harsono. Sebelumnya beliau pernah menjadi bupati di Bangil.
18. Bupati RT Aryo Hoepoediyo (1936 - 1945)
Dalam masa penjajahan Jepang, Pasuruan dipimpin oleh Bupati RT Aryo Hoepoediyo. Selama kepemimpinannya rakyat Pasuruan mendapat perlindungan dari kejamnya penjajah.
19. Bupati R Soejono (1945 - 1947).
Raden Soejono diangkat menjadi Bupati Pasuruan setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Beliau aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
20. Bupati RM Darko Soegondo III (1947 - 1948)
Trah Darko Soegondo kembali berperan dalam kepemimpinan Pasuruan dengan tampilnya RM Darko Soegondo III. Makamnya di belakang Masjid Pasuruan.
21. Bupati RT Soedarmo (1948 - 1949).
Selama perang kemerdekaan yaitu sewaktu terjadi agresi militer Belanda, Pasuruan dipimpin oleh RT Soedarmo.
22. Bupati RT Soediman Hadiatmodjo (1949 - 1950)
Setelah pengakuan kedaulatan RI Pasuruan dipimpin oleh RT Soediman Hadiatmodjo selama 1 tahun.
23. Bupati R Soentoro (1950 - 1951).
Raden Soentoro menggantikan RT Soediman pada tahun 1950. Masa jabatan beliau juga hanya 1 tahun.
24. Bupati Said Hidayat (1951-1956).
Bupati Said Hidayat memimpin Pasuruan selama 5 tahun. Ia banyak melakukan konsolidasi politik sampai pemilu pertama di Indonesia.
25. Bupati Koesno Soero Atmodjo (1956 - 1957).
Karena situasi politik nasional pada umumnya masih kurang kondusif, kepemimpinan Bupati Koesno Soero Atmodjo hanya berumur 1 tahun.
26. Bupati R. Mahmoed (1957-1959).
Dua tahun kemudian kedudukan bupati Pasuruan dipegang oleh Raden Mahmoed hingga dekrit Presiden.
27. Bupati R. Ismangoen Danoesastro (1959 - 1965).
Masa pasca Dekrit Presiden sampai tahun 1965, jabatan bupati Pasuruan dipegang oleh R. Ismangoen Danoesastro.
28. Bupati M. Aminoeddin (1965 - 1968).
Selama kurang lebih tiga tahun kemudian, M. Aminoeddin memegang jabatan Bupati Pasuruan.
29. Bupati Moechin Moefti (1968 - 1973).
Tampilnya Mayor TNI AD Moechin Moefti sebagai Bupati Pasuruan menandai era kepemimpinan tentara dalam jabatan politik.
30. Bupati Moejono Hardjomartoyo (1973 - 1978)
Letkol TNI AD Moejono Hardjomartoyo meneruskan kepemimpinan pendahulunya, Mayor TNI AD Moechin Moefti. Keduanya dari militer Angkatan Darat.
31. Bupati Jlitheng Soejoto (1978-1988)
Bupati Jlitheng Soejoto mempelopori pembangunan di Kabupaten Pasuruan dalam segala bidang.
32. Bupati Sihaboeddin (1988-1993)
Bupati Sihaboeddin meneruskan pembangunan dengan strategi pendekatan kepada hubungan ulama umara yang harmonis.
33. Bupati Sapoetro (1993-1998)
Pada masa kepemimpinan Bupati Sapoetro, kehidupan seni budaya mendapat perhatian yang layak sehingga sering mendapat penghargaan.
34. Bupati Dade Angga (1998 – 2003).
Bupati Dade Angga merupakan Bupati Pasuruan di tengah maraknya perubahan sosial politik di Indonesia. Di era reformasi itu, beliau mencurahkan perhatiannya untuk kemajuan Pasuruan.
35. Bupati Jusbakir Aldjufri (2003 – 2008)
Berbekal pengalaman para pendahulunya, Bupati Jusbakir Aldjufri berusaha untuk selalu berprinsip mendhem jero mikul dhuwur. Prestasi para pemimpin Pasuruan dilanjutkan dan dikembangkan terus. Kekurangan-kekurangannya dijadikan sebagai pelajaran. Pada masa jabatan Jusbakir Aldjufri, Pasuruan diharapkan akan melakukan kebijakan yang berdasarkan pada kearifan lokal dan sejarah. Beliau selalu ingat kata-kata mutiara Presiden Soekarno, Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Tidak mengherankan apabila beliau senantiasa mendukung penuh segala kegiatan yang berkaitan dengan aspek kesejarahan yang terjadi di Kabupaten Pasuruan.
Kabupaten Pasuruan atau Gembong merupakan wilayah yang paling lama dikuasai oleh raja-raja Tumapel. Di daerah ini ditemukan banyak peninggalan candi Jawa Timur tempat permakaman raja-raja serta keluarganya. Hal ini menunjukkan bahwa raja-raja telah mendirikan tempat tinggal di daerah itu atau menggarap perladangan.
Dalam Nagara Kertagama, nama Pasu¬ruan berkali-kali disebutkan. Pada abad ke-19 dikumpulkan banyak dongeng setempat, yang berasal dari daerah-daerah di Pasuruan dan Singasari (Brandes, 1904). Sejarah ter-sebut banyak menceritakan pertempuran yang pernah berkecamuk. Raja Singasari ialah salah seorang dari empat raja di samping Jenggala, Kediri, dan Ngurawan yang ditampilkan dalam kisah-kisah panji yang bersifat sejarah.
Di ujung timur daerah Jawa Timur ini, yang merupakan gerbang antara laut dan pegunungan ke ujung timur Jawa, dikisahkan terjadi pertempuran antara orang Bali dan orang Jawa. Terlalu sedikitnya informasi historis tidak memungkinkan kita menentukan apakah kisah itu dapat dipercaya. Yang termasuk sejarah daerah ini adalah kisah mengenai Danau Grati yang sering dituturkan kembali. Grati adalah sebuah distrik di pelosok Pasuruan.
C. Nilai Stategis Kabupaten Pasuruan
Pada dasawarsa pertama abad ke-16 yang menjadi raja di Gamda adalah putra Gusti Pati, mahapatih kraton besar. Ia bernama Pati Sepetat, dan ia menjadi menantu Pati Pimtor, raja yang berkuasa di Blambangan, juga menantu Raja Madura. Nama Sepetat ini dapat dihubungkan dengan Menak Sapetak atau Menak Supetak, nama pendiri Kotanegara Pasuruan, tokoh termasyhur dalam sejarah, yang ayahnya dikatakan seekor anjing. Kiranya masuk akal jika Pijntor berasal dari gelar raja Jawa Binatara yang ejaannya telah rusak, dan berasal dari bahasa Jawa Kuno Bathara (Zoetmulder, 1985).
Tuban, Gamda, dan kota-kota pelabuhan Jawa yang pada zamannya masih dikuasai Narendra Agung atau patih Gusti Pati. mengenai perdagangan di Gamda ia tidak dapat memberi gambaran banyak (Darusuprapta, 1984). Tetapi, yang krusial ialah berita bahwa Pati Sepetat, dengan bantuan ayah mertuanya, patih Majapahit, memerangi Adipati Surabaya dan menghalang-halangi dakwah Islam di Jawa Timur dan ujung timur Jawa. Yang sesuai dengan berita pada sekitar 1515 itu ialah kisah Jawa mengenai seorang trah patih Majapahit di Sengguruh melawan pasukan Islam yang terus mendesak. Itu terjadi sesudah runtuhnya kota kraton Majapahit pada 1527. Sengguruh dulu ter¬masuk daerah yang oleh Tome Pires disebut Gamda.
Kisah Jawa tersebut ditinjau secara menyeluruh, maka jelaslah bahwa para raja dan pejabat Jawa di pelosok Jawa Timur dan di ujung timur Jawa itu hingga dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16 memiliki semangat cukup besar. Mereka bertahan terhadap pasukan Islam yang mendesak masuk dari pesisir utara dan dari Jawa Tengah, yang dipimpin oleh orang-orang bukan Jawa dan yang berdarah campuran.
D. Perkembangan Islam di Pasuruan
Daerah Gamda meliputi daerah Pasuruan, maka dapat dimengerti mengapa tidak ada kisah Jawa mengenai tempat-tempat makam keramat Islam yang terletak di timur Surabaya. Di pesisir Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat kekuasaan jatuh ke tangan pejabat Islam dengan cara bertahap tanpa banyak perlawanan dari kalangan anak negeri sendiri (Clifford Geertz, 1981).
Hal itu disebabkan juga oleh pengaruh buruh asing yang kaya dan berwibawa dalam masyarakat. Juga berkat para pendiri jemaah Islam pertama yang dihormati sebagai wali. Di daerah timur Surabaya pada abad ke-15 dan 16, agaknya kelompok buruh yang membawa agama Islam kurang berpengaruh di kota-kota pelabuhan dibandingkan dengan raja-raja setempat. Waktu pada abad ke-16 dan ke-17 raja-raja Islam dari Demak Bintara dan Mataram ingin memperluas daerah kekuasaannya di ujung timur Jawa, sebagian saja yang berhasil, meski demikian perjuangan mereka sudah maksimal. Hanya daerah Pasuruan, yang berbatasan dengan Surabaya, yang dapat dikuasai Narendra Agung Islam di Demak Bintara pada paruh pertama abad 16.
Penaklukan oleh Kanjeng Sultan Trang-gana dari Demak Bintara, Surabaya sudah diduduki pada 1531 dan Pasuruan, empat tahun kemudian, yakni pada 1535. Pe¬naklukan Sengguruh, kubu terakhir kean di Jawa Timur, baru terlaksana pada 1545. Pada tahun berikutnya Kanjeng Sultan Trenggana menyerang kraton-kraton yang lebih ke timur lagi, di ujung timur Jawa.
Kisah tutur Jawa setempat, yang menyangkut sejarah pejabat jaman sebelum Islam yang memerintah Pasuruan dan Sengguruh (Graaf, 1989). pejabat ter¬akhir di daerah-daerah tersebut termasuk trah para patih Majapahit, mungkin sekali mereka atau sanak saudara mereka yang masih tinggal dengan para pengikutnya telah menyingkir ke timur, sesudah orang Islam memperoleh kemenangan. Menurut Tome Pires, Adipati Blambangan dalam dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16 itu ayah mertua Pati Sepetat dari Gamda.
Tentang prajurit perang Kanjeng Sultan Trenggana terhadap Panarukan pada 1546, seorang “laksamana” dari Pasuruan memegang peranan penting. Ia bertempur di pihak Islam Jawa Te¬ngah. Jelas, bahwa sesudah pejabat ditundung dari Pasuruan, Narendra Agung Islam dari Demak Bintara mengangkat seorang pengikutnya yang setia menjadi pejabat pemerintahan di tempat itu.
Pengambilalihan kekuasaan kraton Islam di Jawa Tengah oleh Sultan Pajang tidak menimbulkan keguncangan di Pasuruan maupun daerah-daerah di Jawa Timur lainnya. Pada 1581 Sultan Pajang diakui sebagai Kanjeng Sultan oleh Kanjeng Sunan Prapen dari Giri dalam suatu rapat Adipati Jawa Timur, Adipati Pasuruan hadir juga. Ada dugaan bahwa penyatuan ke¬kuasaan politik raja-raja Islam Jawa Tengah dan Jawa Timur di bawah pimpinan pemuka agama dari Giri dan Kanjeng Sultan Pajang juga bertujuan mengatasi ancaman raja-raja di ujung timur Jawa yang dibantu oleh Dewa Agung dari Bali. Adipati Pasuruan, yang daerahnya hampir berbatasan langsung dengan Blambangan, mempunyai alasan kuat untuk mengusahakan persahabatan dengan raja-raja Islam lainnya. Kanjeng Sultan Pajang memang juga menguasai daerah Pasuruan.
E. Kontak Diplomasi Kadipaten Pasuruan
Pada paruh kedua abad Raja Aros Baya, Kanjeng Panembahan Lemah Duwur yang menjadi menantu Kanjeng Sultan Pajang, telah berkuasa juga di seberang, yakni daerah Jawa yang berhadapan dengan daerahnya di Madura, daerah itu adalah Sidayu, Gresik, dan Pasuruan (Koentjaraningrat, 1984). Raja yang kuat itu mempunyai pengaruh di kraton-kraton tetangganya. Anak perempuannya yang tertua pernikahannya dengan putri Pajang nikah dengan Adipati Kapulungan di Pasuruan. Seseorang yang bernama Ki Ageng Kapulungan disebut namanya dalam sejarah Jawa mengenai Adipati Pasuruan dan Surabaya.
Pada perempat terakhir abad ke-16 Adipati Pasuruan berhasil melebarkan sayapnya ke pelosok Jawa Timur hingga daerah Kediri. Kita ketahui mengenai sejarah kraton penting ini pada abad ke-16. Campur tangan pemuka agama di Giri dalam urusan daerah pelosok itu dari 1548 sampai 1552, mungkin untuk memperkuat atau memulihkan kekuasaan gama Islam di situ. Pada 1579 serangan pasukan Adipati Pasuruan menghabisi kisah kekuasaan raja di Kediri itu (Meinsma, 1903). Di Kediri, salah satu kota utama kraton Majapahit, setengah abad sesudah didudukinya kota kraton yang lama, masih terdapat perlawanan terhadap kekuasaan Narendra Agung Islam di Pajang. Mungkin juga perlawanan berkobar kembali setelah jatuhnya Kesultanan Demak Bintara. Daerah tua itu kiranya berperan penting dalam perlawanan terhadap orang Jawa Tengah. Pada waktu yang sama, Adipati Pasuruan mungkin berhasil memperkukuh kekuasaannya atas bagian tengah Kraton Majapahit, hingga wadyabalanya dapat bergerak ke arah barat lewat bagian hilir Sungai Brantas, hingga dapat mencapai Kediri. Adipati Pasuruan ini sudah hampir berhasil memulihkan Kraton Majapahit di Jawa Timur, namun kini di bawah kekuasaan Islam.
Mengenai munculnya Trah Mataram dalam dasawarsa terakhir abad ke-16 disebut juga seorang Adipati Pasuruan. Sesudah menduduki Madiun pada 1590, Senopati Mataram yang masih muda itu di dekat kota tersebut mengalahkan Adipati Kaniten dalam pertempuran berkuda. Adipati Kaniten ada¬lah seorang adipaten Pasuruan. Kemenangan dekat Kali Dadung pada 1591 itu tidak memperluas daerah Narendra Mataram ke timur. Sekembalinva, atas perintah Adipati Pasuruan, Adipati Kaniten dibunuh sebagai hukuman karena ia telah mundur perang, suatu hal yang sangat memalukan.
Kaniten ini nama daerah. Pada permulaan abad ke-16 (tahun 1510), telah dicantumkan munculnya keluarga pejabat Kaniten. Seorang adipati Kaniten pada 1590 atas perintah Adipati Pasuruan, yang menganggap Kediri termasuk daerahnya, berkewajiban menahan gerakan Senopati Mataram lebih jauh ke sebelah timur Madiun. Adipati Pasuruan, yang pada perempat terakhir abad ke-16 berhasil meluaskan kekuasaannya mungkin sampai Kediri, di ujung timur Jawa pun bertindak keras. Kabupaten Blambangan pada 1596 dan 1597 diserang oleh wadyabala Islam dari Pasuruan. Pada 1600 atau 1601 kota Kabupaten Blambangan direbut. Orang Bali, yang dikirim oleh Adipati Gelgel untuk membantu, tidak dapat menghalang-halangi kraton penting yang terakhir di Jawa. Perluasan daerah yang dilakukan oleh Adipati Pasuruan pada akhir abad 16.
Ketika pada 1589 gabungan Adipati Jawa Timur dan pesisir dekat Japan Mojokerto menghentikan gerakan pasukan Senopati Mataram ke timur, Adipati Pasuruan juga membantu Adipati Surabaya, lawan terpenting penakluk dari Jawa Tengah itu (Ricklefs, 1995). Ada petunjuk bahwa para pejabat di Surabaya, Kapulungan, dan Pasuruan pada sekitar 1600 berhubungan keluarga. Ketika naik takhta pada 1613, cucu Senopati Mataram melanjutkan siasat politik ngelar jajahan trahnya. Para prajurit yang harus mempertahankan ibu-Kotanegara di Jawa Timur daii daerah pesisir yang besar dan sudah maju itu tidak mampu bertahan terhadap Mataram yang gagah berani, Pada 1616 atau 1617 Pasuruan diduduki oleh pasukan Kanjeng Sultan Agung. Waktu itu Batavia belum didirikan, 1619. Yang mempertahankan Pasuruan ialah seorang Kanjeng Tumenggung dari Kapulungan. Setelah kalah, ia tinggal glanggang colong payu ke Surabaya.
Berdasarkan uraian di atas, sesungguhnya kabupaten Pasuruan mempunyai perjalanan sejarah yang sangat panjang. Pengalaman hidup kolektif masyarakat Pasuruan itu bisa dijadikan inspirasi dan refleksi bagi kehidupan masa kini. Penggalian nilai-nilai lokal tradisional di Pasuruan perlu digalakkan dengan cara penelitian, pengkajian, dokumentasi dan publikasi yang dilakukan terus menerus.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !